jump to navigation

Science Meets Policy for Coastal Management and Capacity Building Desember 7, 2006

Posted by Putri in Diskusi, Info, Opini, Penelitian.
trackback

SPICE/LOICZ/ATSEF/SEACORM Sout East Asia Coastal Governance and Management Forum : Science Meets Policy for Coastal Management and Capacity Building

Bali, 14- 16 November 2006

Melihat judul di atas tentunya akan ada pengambilan keputusan tentang sesuatu dari semua kerjasama tersebut (SPICE/LOICZ/ATSEF/SEACORM), begitu yang sekilas terpikirkan oleh kami peserta acara tersebut. Dua hari sebelum acara berlangsung, saya ‘mendadak’ terbang ke Bali. Acara diselenggarakan di Balihai Resort, Kuta – Bali.

Tanggal 14 pagi tampak hampir semua peserta seminar itu. Wahh ramai juga, pikir saya. Acara yang seharusnya dibuka pukul 8.30 baru dimulai hampir pukul 9.15. Bisa dibayangkan buat orang-orang bule ini pengunduran waktu yang seenaknya sendiri πŸ˜€ untuk konferensi sebesar itu.

Acara dimulai dengan beberapa penjelasan mengenai kerjasama SPICE yang diwakili Prof. H. Krain dari Bremen, tentang LOICZ dibawakan seorang wanita dari Singapore, penjelasan ATSEF dijabarkan oleh Dr. Tony Waage dari Maluku. Selanjutnya wakil dari SEACORM yang juga sebagai panitia pelaksana lokal di Bali dan tak ketinggalan Dr. Indroyono Susilo memberikan sambutannya.

Sebelum coffee break dilaksanakan foto bersama (seperti tampak di atas). Mengagumkan? Sepertinya seperti itulah seminar-seminar di Indonesia ya, tampak megah dan wah… tapi sesudah acara foto bersama itu, satu per satu peserta meninggalkan ruangan, seakan-akan selanjutnya urusan anda…. 😦 Ini kenyataan lho bisa dibilang hampir sepertiganya sudah keluar ruangan (dan tak kembali) terutama sesudah pembicara pak Rokhmin Dahuri selesai.

Siang itu acara seminar dibagi di dua ruangan. Untuk SPICE cluster 3 berada diruangan yang lebih kecil. Banyak info yang didapat dari presentasi ini. Masing-masing cluster dari kerjasama SPICE memberikan informasi mengenai hasil studinya selama ini. Metodologi yang dikemukakan oleh Prof. Mayerle dari Kiel misalnya..cukup menarik mengenai sistem informasi dari pemetaan daerah lokasi pengangkapan ikan secara regional, digabungkan dengan metode pemodelan yang terdiri dari beberapa tahapan hingga ke lokasi detail pada akhirnya dapat memberikan rekomendasi daerah penangkapan ikan pada lokasi yang detail. Contoh kasus yang beliau kemukakan adalah daerah detail di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta.

Saya sendiri menyampaikan hasil simulasi numerik tentang transport dan jejak partikel di Muara Sungai Siak. Kedua model ini dianalisis baik untuk melihat pengaruh pasang surut, maupun pengaruh musiman dalam jangka panjang. Di dukung oleh data satelit yang dikemukakan oleh Dr. Siegel dari WarnemΓΌnde dan data-data pengamatan yang dikemukakan pembicara sebelumnya, membuat seminar yang intinya memberikan informasi tentang proyek SPICE cluster 3 itu menjadi lebih berkesinambungan.

Acara hari pertama selesai pukul 18.00 WITA. Jam 19.00 diadakan acara makan malam. Hmmm.. ikan dan makanan laut lainnya dibakar langsung ditempat. Sajian kesenian seperti tarian Bali dan gamelan yang live saat makan malam membuat para tamu menjadi terkesan ( termasuk saya juga… πŸ˜€ ). Selama makan malam tentu saja dilanjutkan dengan acara diskusi, baik materi, maupun berkenalan dengan beberapa orang yang ternyata editor Journal.

Acara hari kedua adalah ekskursi. Saya ikut ke SEACORM. Perjalanan cukup jauh.. 3 jam dari Kuta ke Perancak dengan menggunakan bis. Membosankan? Untungnya buat saya menarik.. karena memang perjalanan pertama, pemandangan pun belum pernah dilihat. Melalui beberapa wilayah kota di Bali, tampak jelas kekuatan spiritual keagamaan disini.

Sesampai di SEACORM peserta seminar disambut dengan penjelasan tentang SEACORM sendiri. Hmmm sayangnya… orang-orang yang berada di SEACORM ini masih ‘sangat’ muda dan tampak tidak punya ‘posisi dan kekuasaan’ menjelaskan segala sesuatunya. Dari pertanyaan salah satu peserta (orang Singapore kalau tak salah ingat…) “Kalau SEACORM berarti South East Asian Center Osean Remote Sensing and Monitoring… siapa saja peneliti disini? berasal dari negara mana saja dan berapa jumlahnya?” Jawaban dari SEACORM…”peneliti ada 20 orang dan semua orang Indonesia”. Lho…. katanya South East Asia kok ‘cuma’ Indonesia… hihihi.. jujur ini bikin cekikikan… sementara buat orang Singapore dan Jerman yang ikut sedikit heran πŸ˜€ Pertanyaan lain.. “Berapa dana per bulan untuk menjalankan riset tersebut?” Nah… ternyata tidak ada jawaban yang meyakinkan untuk menjalankan penelitian tentang remote sensing dan monitoring ini. Menurut saya memang jawaban itu harusnya keluar dari DKP karena SEACORM sendiri berada dibawah DKP. Sayangnya… ya sejak hari pertama semua orang Indonesia yang berkompetensi dalam hal kebijakan dan pengambilan keputusan ini sudah tidak hadir lagi dan ntah seminar apa lagi 😦 Sayang… tidak dapat memanfaatkan ‘event’ kerja sama ini.

Hal lain yang membuat mereka lebih bengong lagi…. adalah saat salah seorang peneliti SEACORM menampilkan hasil simulasi tsunami yang mungkin terjadi di pantai Bali. Hasil simulasi menunjukkan tinggi run up yang mungkin terjadi maksimum 1,5m di sepanjang pantai Selat Bali. Prof Krain dari Bremen langsung bertanya…’Cuma 1 m? Kok 1 m?’ Hehehe… kalau gelombang 1 m kan ya belum apa-apa ya dibanding tsunami πŸ˜€

Bagaimanapun juga.. buat teman-teman di SEACORM seperti Dessy dan Asmi… jangan putus asa ya πŸ˜€ Jadikan pemicu buat lebih aktif lagi. Ide mengundang para peneliti (mungkin dimulai dari peneliti dalam negeri) untuk memperkuat bidang yang dikembangkan di SEACORM, baik modelling maupun pengolahan datanya.

Sore hari kami makan siang (makan siangnya telat sampai sore hari… :D) dipinggir pantai diiringi musik khas daerah Perancak di area penangkaran penyu. Hidangan ikan bakar bumbu Perancak pun menjadi sedap disantapnya. Kami berada di penangkaran telur penyu Kurma Asih. Di daerah sini penduduk sudah mulai sadar akan pentingnya penyu-penyu laut yang semakin berkurang. Di salah satu kolam khusus yang dibangun untuk telur-telur penyu yang akan menetas. Setelah menetas dimasukan ke dalam ember-ember penampungan sebelum akhirnya dikembalikan ke laut. Sebelum pulang para peserta melepas beberapa ember penyu kecil. (Foto-foto menyusul). Anehnya…air laut pantai selatan ini serasa menyambut kedatangan mereka, ombak dipantai yang tadinya masih berjarak 2m di depan kami menjadi menyambar kaki-kaki kami seperti menyambut datangnya penyu-penyu kecil itu ke laut. Oh ya..karena dana yang diperlukan untuk pelestarian penyu ini cukup besar, Kurma Asih ini mencanangkan juga Program Orang Tua Asuh bagi para penyu kecil ini. Lucu ya kedengarannya… diposting kemudian informasinya.

Jam 20 WITA kami sampai di hotel kembali. Langsung makan malam… wah gilanya lagi.. sambil makan malam masih ada diskusi sampai pukul 23 WITA tentunya dengan teler mendengarkannya. Capek berat.

Hari ketiga atau hari terakhir, acara dilanjutkan dengan presentasi dari SPICE cluster 5 tentang DAS Brantas yang tentu saja membahas tentang Sungai Porong dan Lumpur LAPINDO-nya. Penelitian serta proposal berikutnya sudah dipersiapkan disini.

Di bagian terakhir presentasi adalah tentang kerjasama ATSEF dimana sebagian presenternya adalah dari Australia dan Maluku. Pembahasan mengenai Illegal Fishing menarik perhatian saya. Salah satu presenter dari Australia mengemukakan masalah sosial nelayan di kepulauan Flores, dengan pendapatan yang cukup rendah (sekitar 10 US dollar / bulan) dibandingkan dengan nelayan Australia (sekitar 300 US dollar / bulan). Dalam materi presentasinya dikemukakan bagaimana para nelayan Indonesia mencari ikan di area Australi, sehingga dianggap illegal. Saat itu yang saya tanyakan “Apa definisi anda tentang illegal fishing. Jika anda kemukakan sendiri bahwa nelayan Flores itu miskin (merujuk ke pendapatan yang dia sebutkan juga), tentunya mereka mencari ikan dengan tradisional mengikuti arus dan angin dan kebiasaan mereka mencari ikan sejak jaman dahulu mungkin. Apa definisinya?” Jujurnya saya kurang suka dia bilang langsung bahkan seakan menuduh bahwa nelayan Indonesia itu mencari ikan dengan illegal diperairan Australi. Dalam pikiran saya …belum tentu juga nelayan tradisional dengan pendapatan yang sangat kurang itu tahu tentang GPS, alat penentu arah lainnya, atau bahkan definisi batas negara yang manapun mereka tidak tahu. Betul tidak ya?

Dengan ‘agak emosi’ dengan pertanyaan saya itu (tampak lho… hehe.. peneliti harusnya tidak boleh emosian ya :P) dia menjawab bahwa tidak mungkin nelayan sekarang tidak punya GPS jadi mereka harusnya sudah tahu. Lho?? Bener gak ya semua nelayan traditional sudah memiliki GPS? Kok saya meragukan… atau saya yang terlalu underestimate terhadap nelayan-nelayan traditional Indonesia sekarang? Namun presenter berikutnya (juga dari Australi) Dr. Matkinson (maaf kalau tulisannya salah.. nanti dilihat lagi gimana benarnya) yang menunjukkan indahnya biodiversity Timor Gap ‘memperlunak’ jawaban presenter pertama bahwa yang dimaksud Illegal Fishing dari Australi terbesar berasal dari Jepang dan Korea dengan peralatan mereka yang modern (menggunakan pukat harimau itu). Oh ya… melihat kehidupan laut di Timor Gap yang mereka punya foto-foto dan videonya ini sangat indah dan kaya lho. Orang Indonesia harus…harus pandai-pandai memanfaatkan dan memutuskan kebijakan untuk daerah ini. Jangan sampai juga ‘lepas’ ke negara tetangga.

Pertanyaan yang muncul dari Prof. Krain (Bremen) ke presenter kedua ini adalah… milik siapa daerah tersebut? Presenter menjawab.. “Hal itu sudah menyangkut masalah politik. Sebagai peneliti saya cuma ingin mempergunakan MoU yang sudah ada antar kedua negara, Indonesia-Australia, bahwa semua peneliti dari kedua negara boleh meneliti daerah tersebut. Hanya sebagai penelitian”. Eh sang cewek presenter pertama tadi langsung menyebutkan bahwa secara hukum itu milik Australi karena berada di Australian Shelf. Huuu.. sempat sebel juga lho lihat emosi begitu. Secara lokasi memang berada di Australian Shelf, tapi teritorial kan masuk Indonesia dengan adanya ZEE 200m dari garis pantai terluar? Mungkin ada teman-teman yang bisa menjelaskan secara hukum laut?

Apapun… teman-teman oseanografi Indonesia.. teman-teman yang berkecimpung di kelautan, jangan sampai tertinggal meneliti laut di Timor Gap ini. Indahh… bener deh.. sayang kalau Indonesia sampai terlewati atau bahkan kehilangan area ini.

Sebelum acara berakhir ada 1 sesion menyimpulkan dan mengambil tindakan selanjutnya dalam merangkul semua kerjasama yang sudah ada ini. Bagaimana SPICE bisa bekerjasama dengan LOICZ dan ATSEF, kerjasama yang bagaimana, dan tujuan yang akan dicapai bersama-sama. Sayangnya… pembahasan ini hanya diwakili orang-orang asing (Jerman-Australi-Singapore), sedangkan dari Indonesia sendiri yang punya wewenang tidak tampak seorang pun. Sedih lho melihat seperti itu. Bahkan di akhir acara.. bisa dikatakan orang Indonesia yang datang adalah panitia lokal, mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir/disertasinya dibawah SPICE, atau seperti saya yang mewakili SPICE langsung dari Jerman, yang semuanya tidak mempunyai wewenang apa-apa. Kemana nih pejabat yang berkompeten dibidang ini? Patut disayangkan…

Pukul 17.00 hari ketiga acara seminar itu selesai.

Komentar»

1. kandaga - Desember 9, 2006

Untung ada Asmi di seacorm… kalo nggak, mau jadi apa..heuheu….
Memang, mestinya dipertangguh dengan ahli2 oseanografi lokal dari ITB khususnya. Seperti mba Yaya dan Ibu Nining.

Hidup ITB…hahahaha

siip good bye ah, mau presentasi di AGU terus plg dech ke bandung nemuin ibu dan calon ibu…heuheu…

2. putri - Desember 9, 2006

@kandaga : sepertinya lebih diperkuat lagi kalau kandaga yang ke sana setelah selesai sekolah deh… biar sekalian gitu loh.. πŸ˜‰
Selamat presentasi.. selamat berkunjung ke ibu dan camer..juga tentunya ada yang gak sabar nunggu lho di Bali hehe… udah gak sabarnya sejak bulan lalu pas saya lagi disana πŸ˜€ (ini mah gosip deng… doi gak bilang apa2 kok selain senyum2 saya godain hihi..)

Have a nice holiday ya..

3. hani - Desember 10, 2006

menarik mbak acara seminarnya. saya pernah ikutan presentasi tentang marine protected area disini. ternyata beda banget dengan kebijakan untuk mpa di indo…ya saya pikir wajar karena beda kepentingan. dan melihat mereka presentasi dengan data pendukung dengan alat yang aduhai…duuuh ternyata oseanografi asyik juga…hehehe

suami saya pernah cruise ke timor gap buat whale watching…seru πŸ˜‰

pak tony wage ini kalo ndak salah orang lipi ya mbak? soalnya waktu kuliah diambon sering denger namanya.

tapi menyedihkan ya sebuah seminar harus kehilangan pesertanya yang asyik dengan kepentingan masing2 😦

4. putri - Desember 10, 2006

Mbak Hani.. boleh dong dibagi info tentang Timor Gap-nya disini. Kalau sempat ya mbak…ntar saya add jg buat jadi penulis ya mbak. Bagi-bagi info…

Iya ya.. kayaknya Pak Tony Waage dari LIPI yang di Maluku.

Sebenernya… justru buat Indonesianya yang ‘kehilangan’ moment itu. Karena pertemuan itu buat orang Jerman mengasyikan membuat link baru ke negara-negara LOICZ dan ATSEF yang lain. Sisi Indonesianya yang ditinggalkan. Padahal riset mereka nantinya mengeksplor info tentang Indonesia. Sedih banget kan 😦

5. Stop Dreaming Start Action - Juni 30, 2009

thx infonya

6. fandy - Agustus 24, 2009

salam kenal ya mas..


Tinggalkan komentar